Sabtu, 15 Januari 2011

Home » » Ngarot, Regenerasi Petani yang Tergerus

Ngarot, Regenerasi Petani yang Tergerus



Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana

Menjadi petani adalah pilihan hidup. Di pesta ngarot, pesta awal tanam masyarakat agraris, anak-anak muda di desa-desa Indramayu mencoba menemukan pilihan hidup itu di tengah gemerlap era industrialisasi.

Pada pagi pertengahan Desember lalu, Desa Lelea semarak oleh arak-arakan adat ngarot. Ada 54 gadis muda berdandan bak bidadari dengan kebaya putih dan berkain batik. Ada pula 50 lelaki remaja berbaju hitam, bercelana tanggung, dan berikat kepala hitam. Mereka diarak keliling Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Para remaja itu diperlakukan bak warga istimewa. Sejak pagi mereka didandani secantik dan seganteng mungkin untuk tampil dalam arak-arakan. Ayah, ibu, handai tolan, dan warga desa lainnya rela berdesakan untuk melihat arakan pemuda berusia belasan tahun itu.

Remaja memang menjadi lakon utama pesta tanam padi ngarot. Mereka diundang kepala desa untuk diarak ke sawah guna menanam padi. Setelah itu, mereka kembali ke balaidesa dengan sambutan tabuhan genjring, penari topeng, dan ronggeng.

Selama 354 tahun, para sesepuh dan remaja Lelea terus melanjutkan tradisi ngarot yang diawali oleh Ki Kapol, tokoh desa pada masa itu.

Ki Kapol adalah simbol regenerasi masyarakat petani Indramayu. Sepanjang hidup dia habiskan untuk mendidik para remaja bercocok tanam.

Tanah yang dimiliki Ki Kapol, seluas 2,61 hektar, pun menjadi tanah rakyat yang dikelola dan dinikmati bersama-sama warga desa. ”Ki Kapol tak ingin rakyatnya kurang pangan. Karena itu, ia mengajari pemuda bercocok tanam dan merelakan sawahnya untuk rakyat,” kata Samian, tokoh masyarakat Desa Lelea, penyelenggara ngarot.

Pada masa Ki Kapol, setiap awal musim tanam, semua warga desa diajak berpesta. Makanan dan minuman disediakan. Remaja pun dibawa ke sawah untuk diajari bercocok tanam.

Tradisi itu berlanjut hingga ratusan tahun kemudian. Dalam setiap tradisi ngarot, para pemuda diajak turun ke sawah mengawali musim tanam padi. Dalam ritual puncak, mereka diberi simbolisasi bibit, air, dan cangkul untuk bercocok tanam sebagai bekal bertani dan melakoni kehidupan masa depan.

Selama ratusan tahun pula tradisi itu berhasil mengantar Indramayu pada budaya agraris yang membawa kemakmuran. Para pemuda mempunyai kemampuan bertani dan beregenerasi. Pertanian menjadi kekuatan ekonomi Indramayu selama tiga abad terakhir. Dengan luas lahan padi rata-rata 110.000 hektar per tahun, kabupaten ini menyumbang surplus beras lebih kurang 500.000 ton per tahun. Tak hanya mencukupi kebutuhan makan petaninya, tetapi juga masyarakat kota di sekitarnya.

Kehilangan penerus
Namun, regenerasi yang diciptakan oleh Ki Kapol mulai tergerus zaman. Kini, dunia tani sudah berubah.
Petani merasakan kurangnya keberpihakan pada kedaulatan mereka. Sistem irigasi pertanian yang menjadi nadi kehidupan sawah juga tak terjaga. Iming- iming hidup gemerlap di kota membuat remaja Indramayu penerus generasi petani tak bermimpi lagi jadi petani di desa.

Seperti desa-desa lain di Jawa, spirit bertani pemuda Lelea hampir lenyap terserap urbanisasi kota. Fenomena itu dimulai sejak 1980-an saat pembangunan kota melesat cepat dan kondisi ekonomi desa tetap gelap gulita. Prof Sediono MP Tjondronegoro dalam bukunya, Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, sudah mendapati gejala munculnya polarisasi kepemilikan tanah pada dekade itu. Sawah yang dimiliki petani dijual untuk bekal biaya hidup yang kian sulit atau jadi modal anak mereka merantau ke kota. Urbanisasi mewabah. Ketika tak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak di kota, pemuda kembali ke desa tanpa sawah. Hasilnya, kaum buruh kian banyak tercipta.

Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Pertanian Indramayu, selama lima tahun terakhir jumlah buruh tani terus bertambah, dari 249.557 orang pada 2005 menjadi 252.012 pada 2010. Sebanyak 43 persen petani hanya memiliki sawah kurang dari 0,6 hektar.

Areal persawahan berganti rumah, pabrik, dan jalan. Kesempatan hidup lebih layak jadi petani kian sempit. Citra petani yang hidup dengan kerja keras, miskin, dan tak bergengsi membuat anak muda desa kian enggan menekuni profesi ini.

Pemudi seperti Lilis (22) dari Kecamatan Anjatan, Indramayu, kini memilih menjadi TKI. Perempuan dari keluarga petani ini mengadu nasib di Taiwan dua tahun terakhir. Gaji Rp 6 juta per bulan membuat ia betah menjadi pengasuh orang berusia lanjut ketimbang matun atau membersihkan rumput sawah di desa yang hanya dibayar Rp 25.000 per hari.

Ribuan pemuda Indramayu memilih jalan serupa. Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Indramayu mencatat, sedikitnya 4.000 tenaga kerja berangkat ke luar negeri sebagai TKI setiap tahun. Jumlah mereka yang tak tercatat diperkirakan dua kali lipat.

Jika tidak menjadi TKI, remaja akan memilih mengadu nasib di kota. Mereka menanggalkan baju hitam dan celana tanggung khas petani dan memilih bekerja apa saja di Jakarta. Mereka mengejar impian hidup makmur di Ibu Kota.

Nuryati (14), remaja yang ikut pesta ngarot, pun tak berpikir memilih jalan hidup jadi petani. Dengan bekal sekolah hingga SMA nanti, ia berharap bisa bekerja di kota sebagai karyawati.

Ngarot pun hanya jadi upacara tradisi yang dimaknai berbeda oleh remaja, yakni mencari jodoh semata. Samian, tokoh desa, mengakui, ngarot banyak dipersepsikan salah oleh warga.

Andai pada zaman ini Ki Kapol bisa menyaksikan tradisi yang ia ciptakan, ia akan menemukan fakta bahwa menjadi petani ternyata bukan pilihan hidup pemuda Lelea.

Di pesta ngarot, anak muda Indramayu kian menjauhi jalan hidup agraris mereka.

Sumber
Silahkan Bagikan Artikel Ini :

Posting Komentar