Indramayu - Membeli gabah borongan pada saat kondisi tanaman padi masih hijau atau belum saatnya dipanen dan dikenal dengan istilah pembeli ‘gabah tebasan' mulai dipersoalkan para buruh penderep padi di Indramayu.
Pasalnya, pembeli gabah tebasan itu cenderung menggunakan tenaga kerja buruh penderep bawaan dari kampungnya. Pembeli ‘gabah tebasan' melarang buruh penderep setempat ikut bekerja sebagai kuli pemotong padi.
Akibat banyaknya pembeli ‘gabah tebasan' membuat banyak buruh penderep padi yang biasanya ikut bekerja di sawah sebagai pemotong padi sekarang yang gigit jari. Padahal, menderep padi di sawah dapat mengurangi angka pengangguran di Indramayu.
"Seluruh pekerjaan memanen padi yang dibeli secara tebasan dilakukan oleh orang-orang bawaan pembeli gabah tebasan. Buruh penderep yang ada di desa setempat yang mencoba ikut bekerja sebagai tenaga penderep ternyata dilarang," ujar Sarki, 21.
Pembeli gabah tebasan marak khususnya di wilayah Indramayu Barat. Seperti di Kecamatan Haurgeulis, Gantar, Bongas, Anjatan, Patrol, Sukra, Kandanghaur dan Kroya.
Pembeli gabah tebasan merugikan pemilik sawah. Pembeli gabah tebasan memborong padi saat kondisinya belum siap panen alias padi masih hijau hanya seharga Rp15 juta setiap Hektar.
Padahal jika tanaman padi itu dipanen dengan hasil gabah setiap hektar 6 ton maka nilainya mencapai Rp24 juta.
"Kami buruh penderep padi meminta pemerintah menertibkan pembelian gabah ijon atau tebasan agar tidak menimbulkan kericuhan antara buruh penderep setempat dengan buruh penderep bawaan pembeli gabah tebasan," kata Caya, (43).[cuplik/adm]
Posting Komentar