Indramayu - Laila Febriani (Lian) yang hilang dari rumah dan menjadi hilang ingatan ditengarai menjadi korban pencucian otak. Pelaku pencucian otak diduga kuat adalah kelompok Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW 9).
"Kalau saya melihat peristiwa pencucian otak yang terjadi belakangan ini, seperti kasus Lian, ini dilakukan NII. Sebab cara perekrutannya identik dengan kelompok tersebut. Begitu juga targetnya," kata pengamat intelijen Wawan Purwanto.
Ketua Tim Rehabilitasi NII Crisis Center (NCC) Sukanto menyatakan lebih dari 1.000 orang menjadi korban pencucian otak aliran menyimpang ini. Modus yang dialami para korban NII ini mirip dengan yang terjadi pada Lian.
Sukanto sendiri orang yang sudah malang melintang di NII. Dia direkrut NII setelah lulus SMA pada tahun 1996 dan pernah menjabat sebagai camat NII wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Setelah keluar dari NII, Sukanto dan rekannya sesama mantan NII, Ken Setiawan membentuk NII Crisis Center didirikan untuk membantu masyarakat yang menjadi korban NII sekaligus sebagai gerakan anti-NII. "Kasus Lian menurut saya ini NII juga. Modusnya sama," kata Ken Setiawan.
Gerakan pencucian otak yang dilakukan NII sangat rapi dan terorganisir. Dalam gerakan ini ada struktur layaknya negara. Pemimpin tertinggi atau presiden dalam NII disebut sebagai khalifah atau imam. Saat ini, khalifah NII dipegang oleh Abdussalam Panji Gumilang, pemimpin Pondok Pesantren Al Zaitun, Indramayu.
Banyak korban NII menyebut khalifah NII saat ini adalah Panji Gumilang. Pun Ketua MUI Ma'ruf Amin yang pada 2002 melakukan penelitian Ponpes Al Zaitun memberikan pernyataan yang sama. "Kami menemukan persamaan kaitan dalam kepemimpinan NII dan Ponpes Al Zaitun, yakni Panji Gumilang," kata Ma'ruf Amin.
Namun Ponpes Al Zaitun menyatakan sejauh ini tidak ada pernyataan Panji Gumilang yang memimpin Ponpes termegah di Asia Tenggara itu sebagai pemimpin NII. Al Zaitun ditegaskan sepenuhnya konsen pada masalah pendidikan. "Beliau tidak pernah ada pernyataan. Beliau sibuk mengurus pendidikan,beliau guru yang mengajar," kata Sekretaris Pesantren Al Zaitun Abdul Halim kepada detikcom.
Selain presiden, NII juga memiliki sejumlah menteri. Saat ini ada 11 kementerian di NII. Kemudian ada gubernur, bupati, camat, lurah hingga ketua RW dan Ketua RT.
"Ya kalau dikonfirmasi ke Al Zaitun mereka pasti akan bilang kita ini lembaga pendidikan. Tapi Panji Gumilang itu memang imamnya NII," kata Sukanto, mantan camat NII wilayah Tebet itu.
Bachtiar Rivai, mantan wakil camat NII untuk wilayah Karanganyar, Kebumen juga menyatakan Panji Gumilang atau Abu Toto merupakan pemimpin NII.
Meski memiliki struktur tidak ubahnya sebuah negara, karena NII merupakan gerakan bawah tanah maka jaringan ini beroperasi dengan sel tertutup. Sesama camat belum tentu kenal dengan pejabat NII lainnya. Anggota seringkali hanya mengenal perekrut dan gurunya. Sementara petinggi negara mereka tidak diberi tahu, mereka hanya diwajibkan percaya saja. Dan dalam NII, semua nama sudah bukan lagi nama aslinya.
"Kalau pemimpinnya Panji Gumilang pernah disebut pas acara NII. Tapi kalau pejabat lain saya tidak tahu karena dirahasiakan, kita hanya diminta percaya saja," kata Bachtiar.
Sama dengan pemerintahan Indonesia, menjadi pejabat di NII juga mendapatkan gaji. Bila pemerintahan membayar gaji dari pajak, NII membayar gaji pejabatnya dari infaq anggotanya yang disebutnya sebagai warga negara. Tentu saja gaji teratas dimiliki oleh khalifah. "Sebagai wakil camat saya mendapat Rp 150 ribu. Itu pada tahun 1996," cerita Bachtiar.
Tapi meski mendapat gaji, uang itu tidak bisa mencukupi kebutuhan Bachtiar. Karena sebagai wakil camat dia juga terkena kewajiban mengumpulkan uang sedekah untuk NII minimal Rp 2 juta sebulan. Bila setoran wajib ke NII tidak memenuhi target, maka sang pejabat pun tidak mendapatkan gaji bahkan dihitung berutang.
"Kalau utang tidak mampu dibayar ya berutang lagi. NII ini tidak ada bedanya dengan bank kredit," kata Bachtiar.
Sukanto menuturkan tujuan utama NII yang katanya mendirikan negara Islam semua hanya bohong. Yang sebenarnya tujuan NII hanyalah mengumpulkan uang bagi pemimpinnya."Uang setelah dikumpulkan dari warga dengan berbagai cara ya diserahkan untuk dimiliki atau dikorupsi pimpinan. Tidak pernah itu kemudian sungguh-sungguh akan membangun negara Islam," kata Sukanto.
Demi pengumpulan dana itulah berbagai cara dihalalkan oleh NII. Setiap orang yang direkrut oleh NII diwajibkan melakukan hijrah. Untuk hijrah tersebut harus membersihkan dosa dengan membayar sejumlah uang.
"Jumlahnya tergantung. Sebenarnya kalau di Jakarta Timur tidak banyak bisa hanya Rp 200 ribu untuk biaya hijrah. Tapi masalahnya calon diprovokasi. Kan di situ ada beberapa orang lainnya yang mendoktrin korban dan mereka akan bilang mislanya kalau saya sudah 20 tahun ya kalau membersihkan diri mandi habisnya sekitar Rp 10 juta. Nah di situ korban kemudian hanya mengikut saja," kisah Ken Setiawan.
Setelah membersihkan diri dari dosa, warga NII masih dikenai infaq wajib per bulan. Saat zaman Bachtiar, tahun 1996, ia harus membayar setiap bulan Rp 50 ribu sebagai infaq untuk negara. Selain infaq masih ada banyak biaya lainnya yang harus dikeluarkan seperti uang pembinaan dan sebagainya.
Untuk setoran kepada NII, bila warga tidak lagi bisa membiayai dari uangnya sendiri, mereka diajarkan melakukan berbagai tindakan kriminal. Tindakan kriminal tersebut menjadi halal dengan alasan yang jadi sasaran tindakan adalah orang kafir karena bukan anggota NII. Perbuatan kriminal tersebut mulai dari membuat proposal fiktif, menipu dan bahkan merampok.
Waktu menjadi lurah di Kayu Putih, Distrik Pulo Gadung, Jakarta Timur, Ken Setiawan memimpin pembantu rumah tangga (PRT) yang melakukan penipuan di rumah-rumah mewah. "Saat itu saya bisa mengumpulkan emas semeja dari aksi para PRT itu," kenang Ken yang setelah keluar dari NII sibuk berdagang ini.
Ken yang sudah bertobat dari NII ini menyimpulkan meskipun berkedok Islam, sesunguhnya ajaran NII adalah ajaran setan. Semua cara dihalalkan demi uang.[det/pkt]
Posting Komentar